Selasa, 03 April 2012

SUBTANSI SUKUK : SALE - LEASEBACK - SALEBACK

Substansi Sukuk: Sale – Leaseback – Saleback



Substansi Sukuk: Sale – Leaseback – Saleback
Oleh: Ahmad Ifham Sholihin, Pakar Ekonomi Syariah



Salah satu produk investasi syariah yang saat ini marak diperbincangkan dan sudah diterbitkan ke publik dalah Sukuk (obligasi syariah). Sebagaimana lazimnya dampak kemunculan produk-produk syariah yang lain, Sukuk pun menimbulkan pro kontra kesyariahan terutama dari sisi substansi.
Kalau bicara kesyariahan dari sisi akad, dan skema operasional Sukuk, maka akan ditemukan kecocokan dengan konsep syariah. Namun jika dari sisi substansi, bisa serasa tidak sesuai syariah. Mari kita cermati apa yang terjadi di produk Sukuk tersebut.
Kita ambil satu jenis Sukuk yaitu Sukuk Ritel alias Sukri yang menggunakan akad Ijarah Sale and Leaseback. Legitimasi produk Sukuk jenis ini adalah mengacu pada fatwa DSN MUI tentang kehalalan akad Ijarah Sale and Leaseback. Namun, apakah substansi praktek Sukuk hanya sebatas Sale and Leaseback?
Pada kenyataannya, skema dan operasional yang terjadi pada produk Sukuk adalah sebagai berikut: 1. Akad Sale (Al Bay’) antara penerbit (bisa menggunakan Special Purpose Vehicle Company – SPVC) dengan Investor (bisa menggunakan wali amanat sebagai wakilnya); 2. Akad Leaseback (Al Ijarah) antara investor (bisa menggunakan wali amanat sebagai wakilnya) dengan pengguna obyek Ijarah dalam hal ini end user yang bisa juga SPVC atau pihak yang diwakilinya; 3. Waad (janji sepihak) Saleback dari investor (bukan dipersyaratkan dalam akad sale di awal) untuk menjual kembali obyek Ijarah kepada penerbit atau SPVC; 4. Pihak penerbit atau SPVC dapat saja menyambut janji sepihak ini dengan menerbitkan kesediaan dokumen waad lain untuk meyakinkan akan membelinya (optional); 5. Akad Sale atau lebih tepatnya Saleback dari Investor (wakilnya) kepada keperbit (wakilnya).
Skema urutan nomor 1 – 4 sekilas sudah jelas memang sesuai dengan ketentuan syariah. Hanya terjadi satu akad jual beli (nomor 1), kemudian dilanjutkan dengan akad Leaseback (nomor 2). Waad pada nomor 3 dan 4 tersebut diperbolehkan secara syariah karena bukan merupakan akad, sehingga secara “hitam di atas putih” hal ini sudah menggugurkan larangan syariah yang menyatakan bahwa “tidak boleh adanya ta’alluq (dalam hal ini akad menjual kembali aset kepada penerbit Sukuk yang tidak dipersyaratkan/dinyatakan pada saad akad Sale (nomor 1).
Ketika terjadi Saleback (poin nomor 5), maka substansi kesyariahannya dipertanyakan. Secara akad, bisa saja kita berkilah bahwa kemunculan akad Saleback nomor 5 adalah berdasarkan waad investor (nomor 3), bukan berdasarkan syarat/ketergantungan/ta’alluq yang ditetapkan pada saat terjadi akad Sale (nomor 1). Sungguh skema akad yang cerdas.
Ada ilustrasi ekstrim yang bisa menggambarkan urutan skema produk Sukuk ini: 1. Negara kekurangan uang untuk biaya pembangunan; 2. Negara mendatangi mba Vivi (investor individu) untuk menjual aset Negara (misalnya Monas) kepada mba Vivi, dan kepada investor-investor yang lain. Mba Vivi dan para investor ini “harus” mau membelinya; 3. Kemudian Negara menyewa Monas tersebut untuk kepentingan Negara, dan mba Vivi “harus” bersedia menyewakannya ke Negara; 4. Berikutnya mba Vivi harus berjanji (waad) bahwa pada saat jatuh tempo sewa nanti, mba Vivi “harus” bersedia menjual Monas tersebut kepada Negara; 5. Meskipun sifatnya tidak wajib, Negara pun boleh membuat janji (waad) untuk bersedia membeli kembali Monas tersebut; 6. Setelah jatuh tempo, mba Vivi merealisasikan janjinya dengan menjual kembali (Saleback) Monas tersebut kepada Negara. Terjadilah akad jual beli lagi antara Negara dan mba Vivi.
Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan: 1. Apakah sejatinya mba Vivi butuh Monas untuk dijadikan sebagai asetnya? 2. Bagaimana juga kalau mba Vivi dan investor lain memang sangat membutuhkan Monas untuk dijadikan aset dan hak milik penuh?
Secara skema akad dan waad tersebut, memang transaksi Sukuk tersebut tidak akan terpenuhi jika investor tidak mau berjanji untuk menjual kembali Monas tersebut ke Negara. Dan “ndilalah” (bahasa Jawa = untungnya) yang dijadikan aset/objek jual dan sewa, atau underlying aset (aset bohong-bohongan) adalah aset Negara yang secara realistis akan susah dijual kembali oleh mba Vivi kepada pihak lain kecuali kepada Negara. Jadi hampir pasti mba Vivi dan investor lain akan bersedia menjual kembali Monas tersebut ke Negara. Penyusunan skema akad yang cerdas.
Dari sisi hukum positif, skema ini dibenarkan apalagi jika penerapan syariah mengikuti konsep common law yang mengakomodir transfer of beneficial ownership. Nah, apakah cukup sebuah skema transaksi syariah hanya menomorsatukan kesesuaian akad terhadap ketentuan syariah, meskipun pada kenyataannya jika dirangkai secara lengkap maka subatansi transaksi yang terjadi adalah Sale – Leaseback – Saleback?
Semua terserah Anda. Anda sudah cerdas dalam menilai dan menentukan apakah akan membeli Sukuk atau tidak. Yang pasti skema Sukuk sudah dibuat dengan tertib dokumentasi yang mengakomodir kesesuaian terhadap ketentuan akad syariah.

Sabtu, 28 Januari 2012

PERUBAHAN KE IV UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan dengan saksema dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa, dan negara serta dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan:
(a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat;
(b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan kalimat, “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,”;
(c) Mengubah penomeran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menajdi Pasal 25A;
(d) Penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agund dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara;
(e) Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
C:/Datafile_2002/Undang-2/UU/1945/UU1945-Perubahan 4.doc (Sri PC per 8/13/02 3:14 PM) 1
Pasal 6A
(4). Dalam hal tidak adanya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 8
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawatan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Pasal 11
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Dihapus
Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-undang
C:/Datafile_2002/Undang-2/UU/1945/UU1945-Perubahan 4.doc (Sri PC per 8/13/02 3:14 PM) 2
Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Pasal 24
(3) Badan-badang lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia
Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
C:/Datafile_2002/Undang-2/UU/1945/UU1945-Perubahan 4.doc (Sri PC per 8/13/02 3:14 PM) 3
BAB XIV
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
(2) Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 37
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
C:/Datafile_2002/Undang-2/UU/1945/UU1945-Perubahan 4.doc (Sri PC per 8/13/02 3:14 PM) 4
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
ATURAN PERALIHAN
Pasal 1
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
ATURAN TAMBAHAN
Pasal I
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hokum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.
Pasal II
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) pada tanggal 10 Agustus 2002 Sidang Tahunan
C:/Datafile_2002/Undang-2/UU/1945/UU1945-Perubahan 4.doc (Sri PC per 8/13/02 3:14 PM) 5
C:/Datafile_2002/Undang-2/UU/1945/UU1945-Perubahan 4.doc (Sri PC per 8/13/02 3:14 PM) 6
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 2002
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
Ketua
Prof. Dr. H.M. Amien Rais
Wakil Ketua Wakil Ketua
Prof. Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita Ir. Sutjipto
Wakil Ketua Wakil Ketua
K.H. Cholil Bisri Drs. H.M. Husnie Thamrin
Wakil Ketua Wakil Ketua
Agus Widjojo Prof. Dr. Jusuf Amir Faisal, S.Pd.
Wakil Ketua,
Drs. H.A. Nazri Adlani

PERJANJIAN YANG DILARANG OLEH UU NO. 5 TAHUN 1999


Pasal 4 dan 17 Larangan perjanjian bersama dan (Oligopoli dan Monopoli) kegiatan yang mengarah pada penguasaan pangsa pasar
Pasal 5 Larangan perjanjian bersama untuk menetapkan harga (Price Fixing/penetapan harga)
Pasal 6 Larangan perjanjian yang mengakibatkan diskriminasi harga (Price Discrimination/ (satu atau beberapa pembeli mendapatkan harga lebih rendah diskriminasi harga) atau lebih tinggi dari lainnya).
Pasal 7 dan 20 Larangan perjanjian dan kegiatan penetapan harga di bawah (Jual rugi/Predatory harga pasar (jual rugi), untuk menyingkirkan pesaing Pricing)
Pasal 8 Larangan perjanjian harga secara vertikal (pemasok menetapkan (Resale Price Maintenance harga jual dan dilarang menurunkan harga)
Pasal 9 Larangan perjanjian (horizontal) pembagian wilayah pasar (Pembagian wilayah pasar) (contoh dulu: Asosiasi Semen)
Pasal 10 Larangan perjanjian melakukan boikot yang menghalangi (Boikot) pelaku usaha lain masuk pasar.
Pasal 11 Larangan perjanjian (horizontal) untuk menetapkan/ (Kartel) mempengaruhi harga, produksi dan pemasaran.
Pasal 12 Larangan perjanjian membentuk gabungan usaha (lebih besar) (Trust) untuk memperkuat anggota pelaku perjanjian, mengontrol produksi dan pemasaran.
Pasal 13 Larangan perjanjian (vertikal) untuk (Oligopsoni) menguasai pembelian dengan mengendalikan harga dan kuantitas pembelian. (Contoh: Indikasi awal terlihat dari kontrol pabrik rokok atas gudang-gudang pembelian yang cenderung merugikan petani tembakau).
Pasal 14 Larangan integrasi vertikal penguasaan produksi berangkai/ sejenis. (Contoh: impor gandum, pengolahan gandum, dst).
Pasal 15 Larangan perjanjian tertutup hanya menerima dan memasok (Exclusive kepada pihak tertentu. dealing)
Pasal 16 Larangan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan praktik monopoli.
Pasal 23 Larangan persekongkolan tender.
Monopoli yamg diperbolehkan
Yang pertama ialah yang terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, sehingga disebut monopoly by law. Kedua ialah monopoly by nature, monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Bentuk yang ketiga ialah monopoly by license. Monopoli yang terakhir ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan .

Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari :
      (a) Oligopoli
(b) Penetapan harg
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertical
(i) Perjanjian tertutup
      (j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi   kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a)Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi

A. Oligopoli
1. Perjanjian yang Oligopolistik
Pelaku usaha dilarang membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain secara bersama-sama untuk menguasai produk atau pemasaran barang atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4 Ayat 1).
2. Dugaan Perjanjian yang Oligopolistik
Untuk mengetahui apakah melalui suatu perjanjian yang dibuat oleh para pelaku usaha akan menguasai produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu atau tidak, maka ditentukan apa yang disebut dugaan melakukan oligopoly, yakni apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar suatu jenis barang atau jasa tertentu (Pasal 4 Ayat 2).
B. Penetapan Harga
1. Penetapan harga yan dibuat secara bersama-sama oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.
Alasan pelarangan, dapat mengakibatkan konsumen atau pelanggan harus membayar harga yang ditetapkan untuk barang atau jasa tertentu (Pasal 5 Ayat 1).
2. Diskriminasi harga
Maksudnya penetapan harga yang berbeda-beda yang harus dibayar oleh para pembeli atas barang yang sama atau jasa yang sama (Pasal 6).
3. Penetapan harga di bawah harga pasar.
Penetapan harga di bawah harga pasar dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat (Pasal 7).
4. Penjualan kembali barang atau jasa di bawah harga yang telah ditetapkan.
Maksudnya penerima barang atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang diperjanjikan. Ini berarti penerima barang harus menjual atau memasok kembali barang atau jasa sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha tersebut (Pasal 8).
C. Pembagian Wilayah Pemasaran.
Misalnya perusahaan A hanya boleh memproduksi dan memasarkan barang di daerah X, dan perusahaan B hanya boleh memproduksi dan memasarkan di daerah Y (Pasal 9)
D. Pemboikotan
1. Menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar (Pasal 10 Ayat 1).
2. Menolak menjual barang atau jasa pelaku usaha lain (Pasal 10 Ayat 2).
E. Kartel
Perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud untuk mengatur produksi dan pemasarannya atau untuk mengatur pelayanan jasa tertentu (Pasal 11).
F. Trust.
Pembentukan suatu gabungan baru. Pelaku-pelaku usaha yang membentuk suatu gabungan perusahaan tersebut tetap mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroannya, dengan maksud agar mengontrol produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan munculnya praktik monopoli.
G. Oligopsoni
1. Penguasaan pembelian atas barang atau jasa tertentu.
2. Dugaan pengusaan pembelian atau barang atau jasa tertentu.
H. Integrasi Vertikal
Yang dimaksud di sini adalah perjanjian integrasi vertical yang dibuat oleh para pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai proses pengusaha/ proses produksi dari hulu sampai ke hilir.
I. Perjanjian Tertutup.
1. Pembatasan pemasokan barang atau jasa tertentu.
2. Pembatasan pembelian barang atau jasa.
3. Pembatasan pembelian barang atau jasa karena adanya potongan harga atas barang atau jasa tertentu.
J. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri apabila isi perjanjian tersebut akan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat misalnya dapat memunculkan praktik monopoli.



Minggu, 25 September 2011



Perbedaan Ekonomi Mikro Dan Ekonomi Makro
Sebagaimana juga berlaku dalam bidang ilmu lainnya, teori ekonomi mikro didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu, dianggap valid dan berguna jika sukses dalam menjelaskan dan memperkirakan fenomena yang menjadi perhatian. Mengingat asumsi yang mendasarinya belum tentu realistis sempurna maka ‘teori yang baikpun’ tidak dapat menjelaskan data observasi dengan sempurna, sehingga ketidak-sempurnaan teori merupakan ‘norma’.
Perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro
Ilmu ekonomi mikro menganalisis bagian-bagian yang dilakukan oleh unit-unit kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian. Berbagai aspek yang diulas dalam teori ekonomi mikro telah dipaparkan di bagian sebelumnya. Dalam hal ini pada umumnya pendekatan mikro terkait dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh para pelaku ekonomi dengan mengacu pada signal harga pasar. Pemahaman konsep-konsep ekonomi mikro dan aplikasinya dalam ekonomi dan bisnis memungkinkan para pelaku ekonomi untuk membuat keputusan yang optimal.
Sebaliknya ilmu ekonomi makro merupakan analisis atas keseluruhan kegiatan perekonomian yang bersifat global dan tidak memperhatikan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh unit-unit kecil dalam perekonomian. Dalam ekonomi makro, analisis dijaknkan terhadap keseluruhan produsen dan konsumen dalam perekonomian. Teori ekonomi makro menerangkan aspekaspek seperti penentuan tingkat perekonomian negara yang berkaitan dengan sampai di mana suatu perekonomian akan menghasilkan barang dan jasa.
Tingkat kegiatan perekonomian ditentukan oleh pengeluaran agregat dalam perekonomian yang terdiri dari 4 komponen yaitu:
  • pengeluaran rumah tangga (konsumen rumah tangga)
  • pengeluaran pemerintah
  • pengeluaran perusahaan-perusahaan (investasi)
  • ekspor – import
Selain itu, analisis dalam teori ekonomi makro akan memperhatikan pula masalah perubahan harga, perubahan penawaran, pengeluaran agregat serta masalah-masalah yang akan timbul bila pengeluaran agregat tidak mencapai tingkatnya yang ideal (yaitu kesempatan kerja penuh tanpa inflasi). Sebagai gambaran, dalam teori ekonomi makro dibahas tentang langkah utama pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran dan inflasi yang dibedakan menjadi dua bentuk kebijaksanaan yaitu kebijaksanaan fiskal dan kebijaksanaan moneter. Kebijaksanaan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah dalam merubah struktur dan jumlah pajak dan pengeluarannya dengan maksud untuk mempengaruhi tingkat kegiatan perekonomian. Sedangkan kebijaksaan moneter adalah langkah-langkah pemerintah melalui bank sentral dalam mengatur dan mem-pengaruhi jumlah uang dalam perekonomian atau mengubah suku bunga dengan tujuan untuk mengatasi masalah perekonomian yang dihadapi. Dalam perekonomian, kedua kebijaksanaan ini digunakan oleh pemerintah untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk mengatasi masalah-masalah pokok ekonomi makro yang selalu timbul seperti halnya masalah pengangguran, masalah kenaikan harga-harga dan masalah penciptaan pertumbuhan ekonomi yang memuaskan.
2. Untuk menjamin agar faktor-faktor produksi digunakan dan dialokasikan keberbagai
kegiatan ekonomi
secara efisien.
3. Untuk memperbaiki keadaan distribusi pendapatan yang tidak merata, yang selalu tercipta dalam masyarakat yang kegiatan perekonomiannya terutama diatur oleh sistem pasar bebas.